web widgets

Monday, 15 June 2015

Prestasi Belajar


Prestasi Belajar

1.     Belajar

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, belajar adalah berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu, berlatih, berubah tingkah laku atau tanggapan yang disebabkan oleh pengalaman. 
Cronbach mengemukakan bahwa learning is shown by change in behaviour as a result of  experience (belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan  tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman). Sedangkan, Geoch, mengatakan : “Learning is a change in performance as a result of practice”(belajar adalah perubahan dalam penampilan sebagai hasil praktek).
Definisi belajar dapat ditinjau dari sudut pandang yang berbeda-beda, diantaranya: 1). Kuantitatif ,(ditinjau dari sudut jumlah, belajar berarti kegiatan pengisian atau pengembangan kemampuan kognitif dengan fakta sebanyak-banyaknya. Jadi, belajar dalam hal ini dipandang dari sudut banyaknya materi yang dikuasai siswa. 2). Institusional (tinjauan kelembagaan), belajar dipandang sebagai proses “validasi” atau pengabsahan terhadap penguasaan siswa atas materi-materi yang telah ia pelajari.  Bukti institusional yang menunjukkan siswa telah belajar dapat diketahui sesuai proses mengajar. Ukurannya, semakin baik mutu guru mengajar, semakin baik pula mutu perolehan siswa yang kemudian dinyatakan dalam bentuk skor. 3) kualitatif (tinjauan mutu) ialah arti-arti memperoleh pemahaman-pemahaman serta cara-cara menafsirkan dunia disekeliling siswa. Belajar dalam pengertian ini difokuskan pada tercapainya daya fikir dan tindakan yang berkualitas untuk memecahkan masalah-masalah yang kini dan nanti dihadapi siswa.
Pada dasarnya belajar ialah tahapan perubahan perilaku siswa yang felatif positif dan menetap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang melibatkan proses kognitif.
Sumadi Suryabrata menyimpulkan bahwa belajar itu membawa perubahan yang terjadi karena adanya usaha dan mendapatkan keterampilan baru.
Slameto mendefinsikan, belajar  ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Seseorang itu belajar karena interaksi dengan lingkungannya .belajar itu senantiasa merupakan perubahan tingkah laku atau penampilan, dengan serangkaian kegiatan misalnya dengan membaca, mengamati, mendengarkan, meniru dan lain sebagainya. Belajar adalah sebagai rangkaian kegiatan jiwa raga, psiko-fisik untuk menuju ke perkembangan pribadi manusia  seutuhnya, yang berarti menyangkut unsur cipta, rasa dan karsa, ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa belajar merupakan usaha sadar dalam perubahan tingkah laku, yang terjadi karena hasil pengalaman-pengalaman baru sehingga menambah pengetahuan yang ada di dalam diri seseorang.

2.     Prestasi Belajar

Kemampuan intelektual siswa sangat menentukan keberhasilan siswa dalam memperoleh prestasi. Untuk mengetahui berhasil tidaknya seseorang dalam belajar maka perlu dilakukan suatu evaluasi, tujuannya untuk mengetahui prestasi yang diperoleh siswa setelah proses belajar mengajar berlangsung.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka nilai yang diberikan oleh guru.
Winkel (1996) mengemukakan bahwa prestasi belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai oleh seseorang.Maka prestasi belajar merupakan hasil maksimum yang dicapai oleh seseorang setelah melaksanakan usaha-usaha belajar.
Benyamin S. Bloom, prestasi belajar merupakan hasil perubahan tingkah laku yang meliputi tiga ranah kognitif terdiri atas : pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi.
Pengertian prestasi belajar sendiri menurut Syaiful Bahri Djamarah adalah hasil yang diperoleh berupa kesan – kesan yang mengakibatkan perubahan dalam diri individu sebagai hasil dari aktivitas dalam belajar dan diwujudkan dalam bentuk nilai atau angka.
Slamento Abdul Hadis mengatakan bahwa “belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu dalam memperoleh suatu perubahan perilaku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi individu dengan lingkungannya.
Menurut Muhibbin Syah (2008) prestasi belajar adalah keberhasilan murid dalam mempelajari materi pelajaran di sekolah yang dinyatakan dalam bentuk skor yang diperoleh dari hasil tes mengenai sejumlah materi pelajaran tertentu.Sedangkan menurut Taulus Tu’u (2004) prestasi belajar adalah penguasaan pengetahuan atau keterampilan yang dikembangkan oleh mata pelajaran, lazimnya ditunjukkan dengan nilai tes atau angka ynag diberikan oleh guru.
Jadi, prestasi belajar siswa dapat dirumuskan sebagai berikut :
  1. Prestasi belajar siswa adalah hasil belajar yang dicapai siswa ketika mengikuti dan mengerjakan tugas dan kegiatan pembelajaran disekolah.
  2. Prestasi belajar tersebut terutama dinilai oleh aspek kognitifnya karena bersangkutan dengan kemampuan siswa dalam pengetahuan atau ingatan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintes dan evaluasi.
  3. Prestasi belajar siswa dibuktikan dan ditunjukan melalui nilai atau angka nilai dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh guru terhadap tugas siswa dan ulangan-ulangan atau ujian yang ditempuhnya. 

Evaluasi Prestasi Belajar

Istilah Evaluasi atau penilaian adalah sebagai terjemahan dari istilah asing “Evaluation”. Dan sebagai panduan, menurut Benyamin S. Bloom (Handbook on Formative and Sumative Evaluation of Student Learning) dikemukakan bahwa: Evaluasi adalah pengumpulan bukti-bukti yang cukup untuk kemudian dijadikan dasar penetapan ada-tidaknya perubahan dan derajat perubahan yang terjadi pada diri siswa atau anak didik.
Evaluasi artinya penilaian terhadap tingkat keberhasilan siswa mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam sebuah program. Kata lain yang sepadandengan kata evaluasi dan sering digunakan untuk menggantikan kata evaluasi adalah tes, ujian dan ulangan. Istilah evaluasi biasanya digunakan untuk menilai hasil belajar para siswa pada akhir jenjang pendidikan tertentu, seperti Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) yang kini disebut Ujian Akhir Nasional (UAN).
Aktivitas belajar perlu diadakan evaluasi . Hal ini penting Karena dengan evaluasi kita dapat mengetahui apakah tujuan belajar yang telah ditetapkan dapat tercapai atau tidak.
Istilah evaluasi sering dikacaukan dengan pengukuran, keduanya memang ada kaitan yang erat, tetapi sebenarnya mengandung titik beda. Menurut Sumadi Surya brata pengukuran mencakup segala cara untuk memperoleh informasi yang dapat dikuantifikasikan. Sedangkan evaluasi menekankan penggunaan informasi yang diperoleh dengan pengukuran maupun dengan cara lain untuk menentukan pendapat dan membuat keputusan-keputusan pendidikan.
Evaluasi dilaksanakan berkenaan dengan situasi sesuatu aspek dibandingkan dengan situasi aspek lain akhirnya terjadilah suatu gambaran yang menyeluruh yang dapat dipandang dari berbagai segi. Evaluasi juga dilakukan dengan cara membanding-bandingkan situasi sekarang dengan situasi yang lampau atau situasi yang sudah lewat.
Adapun aspek-aspek kepribadian yang harus diperhatikan merupakan objek di dalam pelaksanaan evaluasi tersebut, menurut Nasrun Harahap, adalah sebagai berikut:
  1. Aspek-aspek tentang berpikir, meliputi :inteligensi, ingatan, cara menginterpretasi data, pokok-pokok pengajaran, dan pemikiran yang logis;
  2. Dari segi perasaan sosialnya, meliputi: kerja sama dengan kawan sekelasnya, cara bergaul, cara pemecahan masalah, serta nilai-nilai sosial;
  3. Dari kekayaan social dan kewarganegaraan, meliputi: pandangan hidup atau pendapatnya terhadap masalah-masalah social, politik, dan ekonomi.
Aspek-aspek tersebut masih dapat dirinci ke dalam hal-hal yang lebih khusus yang disesuaikan dengan keperluan atau tujuan penilain.

Tujuan dan Prinsip Evaluasi Belajar

1.     Tujuan evaluasi belajar
Pertanyaan pokok sebelum melakukan evaluasi ialah apa yang harus dinilai. Terhadap pertanyaan ini kita kembali kepada unsur-unsur yang terdapat dalam proses belajar-mengajar, yakni tujuan, bahan, metode dan penilaian. Tujuan sebagai arah dari proses belajar mengajar pada hakekatnya adalah rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai oleh siswa setelah menerima atau menempuh pengalaman belajarnya (Nana, 1989).
Evaluasi atau penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan hasil belajar, dan memperbaiki proses pembelajaran. Adapun tujuan evaluasi dapat diuraikan sebagai berikut: Mendeskripsikan kecakapan belajar para siswa sehingga dapat diketahui kelebihan dan kekurangannya dalam berbagai bidang studi atau mata pelajaran yang ditempuhnya. Mengetahui keberhasilan proses pendidikan dan pengajaran di sekolah, yakni seberapa jauh keefektifannya dalam mengubah tingkah laku para siswa ke arah tujuan pendidikan yang diharapkan. Menentukan tindak lanjut hasil penilaian, yakni melakukan perbaikan dan penyempurnaan dalam hal program pendidikan dan pengajaran serta strategi pelaksanaannya. Memberikan pertanggungjawaban pihak sekolah kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Pihak yang dimaksud meliputi pemerintah, masyarakat, dan para orang tua siswa.
Menurut Anas(1995), tujuan evaluasi pendidikan terdiri atas dua:

a.      Tujuan umum 
Secara umum, tujuan evaluasi dalam bidang pendidikan ada dua, yaitu:
  • Untuk menghimpun bahan-bahan keterangan yang akan dijadikan sebagai bukti mengenai taraf perkembangan atau taraf kemajuan yang dialami oleh para peserta didik, setelah mereka mengikuti proses pembelajaran dalam jangka waktu tertentu.
  • Untuk mengetahui tingkat efektivitas dari metode-metode pengajaran yang telah dipergunakan dalam proses pembelajaran selama jangka waktu tertentu.
b.      Tujuan khusus
Adapun yang menjadi tujuan khusus dari kegiatan evaluasi dalam bidang pendidikan adalah:
  • Untuk merangsang kegiatan peserta didik dalam menempuh program pendidikan. Tanpa adanya evaluasi maka tidak mungkin timbul kegairahan atau rangsangan pada diri peserta didik untuk memperbaiki dan meningkatkan prestasinya masing-masing.
  • Untuk mencari dan menemukan faktor-faktor penyebab keberhasilan dan ketidakberhasilan peserta didik dalam mengikuti program pendidikan, sehingga dapat dicari dan ditemukan jalan keluar atau cara-cara perbaikannya.

2.      Prinsip evaluasi belajar
Dalam mendesain dan melakukan proses atau kegiatan evaluasi seorang guru hendaknya mempertimbangkan prinsip-prinsip berikut:
a.     Prinsip berkesinambungan (continuity)
Maksud Prinsip ini adalah kegiatan evaluasi dilaksanakan secara terus-menerus. Evaluasi tidak  hanya  dilakukan  sekali setahun  atau  persemester, tetapi dilakukan secara berkelanjutan mulai dari proses pembelajaran dengan memperhatikan peserta didik  hingga ia tamat dari institusi tersebut.
b.     Prinsip menyeluruh (comprehensive)
Prinsip ini maksudnya adalah dalam melakukan evaluasi haruslah melihat keseluruhan  dari  aspek  berfikir (domain kognitif),aspek nilai atau sikap (domain afektif), maupun  aspek  keterampilan ( domain psikomotor) yang  ada pada masing-masing peserta didik.
c.     Prinsip objektivitas (objektivity)
Maksud dari prinsip ini adalah bahwa Objektivitas artinya mengevaluasi berdasarkan  keadaan  yang  sesungguhnya, tidak dipengaruhi oleh hal-hal lain yang bersifat emosional dan irasional.
d.     Prinsip valididitas (validity)
Validitas  artinya  keshahihan  yaitu  bahwa  evaluasi  yang  digunakan  benar-benar mampu  mengukur  apa  yang hendak diukur  atau  yang  diinginkan. Validitas juga selalu  disamakan dengan  ketepatan, misalnya untuk mengukur partisipasi peserta didik dalam proses pembelajaran bukan dievaluasi dengan melihat nilai ketika ulangan tetapi dilihat juga mulai dari kehadiran, keaktifan dan sebagainya.

Macam-Macam Evaluasi Belajar

Pada prinsipnya, evaluasi hasil belajar merupakan kegiatan berencana dan berkesinambungan. Oleh karena itu, macam-macamnya pun banyak mulai yang sederhana sampai yang paling kompleks. Diantara macam-macam evaluasi tersebut adalah sebagai berikut:
1.     Pre-test dan Post-test
Kegiatan pretest dilakukan guru secara rutin pada setiap akan memulai penyajian materi baru. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi saraf pengetahuan siswa mengenai materi yang akan disajikan. Evaluasi ini seringkali berlangsung singkat dan tidak memerlukan instrumen tertulis.Post test adalah kebalikan dari pre test, yakni kegiatan evaluasi yang dilaksanakan guru pada setiap akhir penyajian materi. Tujuannya adalah untuk mengetahui taraf penguasaan siswa atas materi yang telah diajarkan.
2.     Evaluasi Prasyarat
Evaluasi jenis ini sangat mirip dengan pretest. Tujuannya adalah untuk mengetahui penguasaan siswa atas materi lama yang mendasari materi baru yang akan diajarkan. Contoh: evaluasi penguasaan penjumlahan bilangan sebelum memulai pelajaran perkalian bilangan.
3.     Evaluasi Diagnostik
Evaluasi jenis ini dilakukan setelah selesai penyajian sebuah satuan pelajaran dengan tujuan mengidentifikasi bagian-bagian tertentu yang belum dikuasai siswa. Evaluasi jenis ini dititikberatkan pada bahasan tertentu yang dipandang telah membuat siswa mendapat kesulitan.
4.     Evaluai Formatif
Evaluasi jenis ini kurang lebih sama dengan ulangan yang dilakukan pada setiap akhir penyajian suatu pelajaran atau modul. Tujuannya adalah untuk memperoleh umpan balik yamg mirip dengan evaluasi diagnostik, yakni untuk mendiagnosis kesulitan-kesulitan belajar siswa. Hasil diagnosis tersebut digunakan sebagai bahan pertimbangan rekayasa pengajaran remedial (perbaikan).
5.     Evaluasi Sumatif
Ragam penilaian sumatif dapat dianggap sebagai ulangan umum yang dilakukan untuk mengukur kinerja akademik atau prestasi belajar siswa pada akhir periode pelaksanaan program pengajaran. Evaluasi ini lazim dilakukan pada akhir semester atau akhir tahun ajaran. Hasilnya dijadikan bahan laporan resmi mengenai kinerja. akademik siswa dan bahan penentu naik atau tidaknya siswa ke kelas yang lebih tinggi.
6.     Ujian Akhir Nasional (UAN)/ UN
Ujian Akhir Nasional ( UAN ) yang dulu disebut EBTANAS ( Evaluasi Belajar tahap akhir Nasional ) pada prinsipnya sama dengan evaluasi sumatif dalam arti sebagai alat penentu kanaikan status siswa. Namun UAN dirancang untuk siswa yang telah menduduki kelas tertinggi pada suatu jenjang pendidikan yakni sejak SD/MI dan seterusnya.
7.     Evaluasi Penempatan
Evaluasi jenis ini digunakan untuk mengetahui kemampuan setiap siswa, sehingga guru dapat menempatkan siswa dalam situasi yang tepat baginya. Penempatan yang dimaksud dapat berupa sebagai berikut:

a.       Penempatan siswa dalam kelompok kerja;
b.      Penempatan siswa dalam kelas, 
c.       Penempatan siswa dalam kepanitiaan di sekolah;
d.      Menempatkan siswa dalam program pengajaran tertentu, 

Kelebihan dan Kelemahan Tes Essay dan Objektif

1.     Tes Subjektif / Uraian

Tes subjektif pada umumnya berentuk essay (uraian). Tes bentuk essay adalah sejenis tes kemajuan belajar yang memerlukan jawaban yang bersifat pembahasan atau uraian kata-kata. Menurut Asmawi Zaenul dan Noehi Nasution, tes bentuk uraian adalah butir soal yang mengandung pertanyaan atau tugas yang jawaban atau pengerjaan soal tersebut harus dilakukan dengan cara mengekspresikan pikiran peserta tes. Ciri khas tes uraian adalah jawaban terhadap soal tersebut tidak disediakan oleh penyusun soal, tetapi harus disusun oleh peserta tes. Dalam tes uraian bentuk tesnya diawali dengan kata-kata seperti: uraikan, jelaskan, mengapa, bagaimana, dibandingkan, simpulkan, dan sebagainya.
Soal-soal bentuk uraian ini menuntut kemampuan peserta tes untuk dapat mengingat-ingat dan mengenal kembali, dan terutama harus mempunyai daya kreativitas yang tinggi dalam pengerjaannya.

2.      Kelebihan dan Kelemahan Tes Subyektif

a.       Kelebihan-kelebihan Tes Subjektif
  • Mudah disiapkan dan disusun;
  • Tidak memberi banyak kesempatan untuk berspekulasi atau untung-untungan
  • Mendorong siswa untuk berani mengemukakan pendapat serta menyusun dalam bentuk kalimat yang bagus;
  • Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengutarakan maksudnya dengan gaya bahasa dan caranya sendiri;
  • Dapat diketahui sejauh mana siswa mendalami sesuatu masalah yang diteskan.
b.     Kelemahan-kelemahan Tes Subjektif
Kadar validitas dan realibilitas rendah karena sukar diketahui segi-segi mana dan dari pengetahuan siswa yang betul-betul telah dikuasai.
  • Kurang representif dalam mewakili seluruh scope bahan pelajaran yang akan di tes karena soalnya hanya beberapa saja (tebatas);
  • Cara memeriksanya banyak dipengaruhi oleh unsur-unsur subyektif;
  • Pemeriksaannya lebih sulit sebab membutuhkan pertimbangan individual lebih banyak dari penilai.
  • Waktu untuk koreksinya lama dan tidak dapat diwakilan kepada orang lain.
  • Mudah menimbulkan kecurangan dan pemalsan jawaban.
3.     Tes Objektif

Tes Objektif adalah tes yang dibuat dengan sedemikian rupa sehingga hasil tes itu dapat dinilai secara objektif, yaitu dapat dinilai oleh siapapun akan dapat menghasilkan skor yang sama. Karena sifatnya yang objektif ini maka tidak perlu harus dilakukan oleh manusia. Pekerjaan tersebut dapat dilakukan oleh mesin, misalnya mesin scanner.

4.      Kelebihan dan Kelemahan Tes Objektif
a.       Kelebihan-kelebihan Tes Objektif
  • Tes objektif lebih banyak mengandung segi-segi yang positif, misalnya lebih representatif mewakili isi dan luas bahan, lebih obyektif, dapat dihindari campur tangannya unsur-unsur subyektif baik dari segi siswa maupun segi guru yang memeriksa;
  • Tes objektif lebih mudah dan cepat cara memeriksanya karena dapat menggunakan kunci tes bahkan alat-alat hasil kemajuan teknologi;
  • Dalam pemeriksaannya dapat diserahkan kepada orang lain;
  • Dalam pemeriksaan, tidak ada unsur subyektif yang mempengaruhi.

b.      Kelemahan-kelemahan Tes Objektif
  • Membutuhkan persiapan yang lebih sulit daripada tes esai karena butir soal atau item tesnya banyak dan harus diteliti untuk menghindari kelemahan-kelemahan yang lain;
  • Butir-butir soal cenderung hanya mengungkap ingatan dan pengenalan kembali (recalling) saja, dan sukar untuk mengukur kemampuan berpikir yang tinggi seperti sintesis maupun kreativitas;
  • Banyak kesempatan bagi siswa untuk spekulasi atau untung-untungan (guessing) dalam menjawab soal tes;
  • Kerja sama antar siswa pada waktu mengerjakan soal tes lebih terbuka.







Reference

DEPDIKNAS, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Hayati,Mardia.Desain Pembelajaran.Pekanbaru:Yayasan Pustaka Riau.2009
Nana Sudjana.Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar.Bandung:Remaja Rosda Karya.1989
Sardiman.Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar.cet.18. Jakarta:Raja Grafindo Persada.2011
Slamento.Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya.cet.ke-5.Jakarta:Bhineka Cipta.2010
Slameto.Belajar dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi.Jakarta: Rineka Cipta. 2010
Sudijono, Anas.Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Grafindo Persada.1995
Suryabrata, Sumadi. Psikologi Pendidikan.Jakarta:Raja Grafindo Persada
Syah,Muhibbin. Psikologi Belajar.Bandung:Remaja Rosdakarya.2008
Syah,Muhibbin. Psikologi Pendidikan. Cet.18. Bandung:Remaja Rosdakarya. 2013
Syaiful Bahri Djamarah, Prestasi Belajar dan Kompetensi Guru.Surabaya : Usaha Nasional,1994
Winkel, W.S.Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan.Jakarta : Gramedia, 2007

Anak Berkebutuhan Khusus (ABK)


Pengertian Anak Berkebutuhan Khusus

Anak berkebutuhan khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Istilah lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa, anak cacat, dan atau Anak Dengan Kedisabilitasan ( ADK ). Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka. Anak berkebutuhan khusus biasanya bersekolah di sekolah luar biasa (SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing.

a. SLB bagian A untuk tunanetra.
b. SLB bagian B untuk tunarungu.
c. SLB bagian C untuk tunagrahita.
d. SLB bagian D untuk tunadaksa.
e. SLB bagian E untuk tunalaras.
f. SLB bagian G untuk cacat ganda.
Anak berkebutuhan khusus memerlukan pelayanan yang spesifik, berbeda dengan anak pada umumnya karena mengalami hambatan dalam belajar dan perkembangan baik permanen maupun temporer yang disebabkan oleh:
a. Faktor Lingkungan 
b. Faktor dalam diri Anak Sendiri
c. Kombinasi Keduanya

Menjelaskan Klasifikasi Anak Berkebutuhan Khusus

1. Gangguan Penglihatan (Tunanetra) diklasifikasikan menjadi beberapa macam  yaitu:

a. Berdasarkan tingkat gangguannya
1) Buta total
2) Buta sebagian 
3) Low Vision (Kemampuan Penglihatan Rendah)

b. Berdasarkan waktu terjadinya ketunanetraan
1) Tunanetra sebelum dan sejak lahir
2) Tunanetra setelah lahir dan atau pada usia kecil
3) Tunanetra pada usia sekolah atau pada masa remaja
4) Tunanetra pada usia dewasa
5) Tunanetra dalam usia lanjut

c. Berdasarkan kemampuan daya penglihatan
1) Tunanetra ringan (defective vision/low vision)
2) Tunanetra setengah berat (partially sighted)
3) Tunanetra berat (totally blind) mereka

d. Berdasarkan pemeriksaan klinis
  • Tunanetra yang memiliki ketajaman penglihatan kurang dari 20/200 dan atau memiliki bidang penglihatan kurang dari 20 derajat.
  • Tunanetra yang masih memiliki ketajaman penglihatan  antara 20/70 sampai denhan 20/200 yang dapat lebih baik melalui perbaikan.
e. Berdasarkan kelainan-kelainan pada mata
1) Myopi adalah penglihatan jarak dekat,
2) Hyperopia adalah penglihatan jarak jauh,
3) Astigmatisme adalah penyimpangan atau penglihatan kabur

Penyebab:
a. Prenetal (sejak dalam kandungan) terjadi karena faktor keturunan, malnutrisi, penyakit ibu, penyakit/luka di otak janin, gangguan lingkungan kehamilan.
b. Post netal (sejak/setelah kelahiran) terjadi karena faktor kekurangan oksigen pada sistem saraf pusat saat dilahirkan, kelahiran yang dihalangi, kelahiran yang dipaksa, penggunaan alat yang salah saat melahirkan, premaaturitas, malnutrisi, terserang suatu penyakit, kekurangan oksigen, kecelakaan.

2. Gangguan pendengaran (tunarungu) diklasifikasikan menjadi beberapa macam  yaitu:

a. Berdasarkan tingkat keberfungsian telinga dalam mendengan bunyi 
  • Ketunarunguan ringan adalah kondisi seseorang masih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 20-40 dB. Mereka sering tidak menyadari bahwa sedang diajak bicara, mengalami sedikit kesulitan dalam percakapan.
  • Ketunarunguan sedang adalah kondisi seseorangmasih dapat mendengar bunyi dengan intensitas 40-65 dB. Mereka mengalami kesulitan dalam percakapan. Tanpa memperhatikan wajah pembicara, sulit mendengar dari kejauhan atau dalam suasana gaduh, tetapi dapat terbantu dengan alat bantu dengar (hearing aid)
  • Ketunarunguan berat sekali adalah kondisi seseorang hanya dapat mendengar bunyi dengan intensitas 95 dB atau lebih keras. Mendengar percakapan normal tidak mungkin baginya, sehingga dia sangat tergantung pada komunikasi visual. Ada yang dapat terbantu dengan alat bantu dengar tertentu dengan kekuatan yang sangat tinggi (supperpower).

b. Berdasarkan lokasi gangguannya menurut Easterbrooks (1997)
  • Conductive loss adalah ketunarunguan yang terjadi bila terdapat gangguan pada bagian luar atau tengah telinga
  • Sensorineural loss adalah ketunarunguan yang terjadi bila terdapat kerusakan pada bagian dalam telinga atau saraf auditer
  • Central auditory processing disorder adalah gangguan pada sistem saraf pusat proses auditer
3. Gangguan mental rendah (tunagrahita) diklasifikasikan menjadi beberapa macam  yaitu:

a. Berdasarkan berat ringannya 
  • Debil (ringan) mempunyai IQ antara kisaran 50 sampai dengan 70, kondisi fisiknya tidak berbeda anak normal lainnya, termasuk kelompok mampu didik artinya bisa didik (diajarkan membaca, menulis dan berhitung) bisa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 4 SD umum.
  • Imbesil (sedang) mempunyai IQ antara kisaran 30 sampai dengan 50, termasuk kelompok mampu latih, tampang/kondisi fisiknya sudah dapat dilihat tetapi ada sebagian anak mempunyai fisik normal, biasa menyelesaikan pendidikan setingkat kelas 2 SD umum.
  • Idiot (berat) mempunyai IQ mereka rata-rata 30 kebawah, sangat rendah intelegensinya sehingga tidak mampu menerima pendidikan secara akademis, termasuk kelompok mampu rawat, dalam kegiatan sehari-hari mereka membutuhkan bantuan orang lain.
b. Berdasarkan sosial psikologis

1) Psikometrik ada 4 taraf tunagrahita berdasarkan kriteria psikometrik menurut skala intelegensi wechsler.
a) Retardasi mental ringan : seseorang yang memiliki IQ antara 55-69
b) Retardasi mental sedang : seseorang yang memiliki IQ antara 40-54
c) Retardasi mental berat : seseorang yang memiliki IQ antara 20-39
d) Retardasi mental sangat berat : seseorang yang memiliki IQ antara <20

c. Berdasarkan klinis tunagrahita dapat digolongkan atas dasar tipe atau ciri-ciri jasmaniah secara berikut:
  • Down Syindrome (mongoloid) memiliki raut muka menyerupai orang mongol dengan mata sipit dan miring, lidah tebal suka menjulur keluar, telinga kecil, kulit kasar, susunan gigi kurang baik.
  • Kretin (cebol) memperlihatkan ciri-ciri, seperti badan gemuk dan pendek, kaki dan tangan pendek dan bengkok, kulit kering, tebal dan keriput, rambut kering, lidah dan bibir, kelopak mata, telapak tangan dan kaki tebal, pertumbuhan gigi terlambat.
  • Hydrocephalus memiliki ciri-ciri kepala besar, raut muka kecil, pandangan dan pendengaran tidak sempurna, mata kadang-kadang juling.
  • Microcephalus memiliki ukuran kepala yang kecil

Penyebab 
a. Prenetal (sebelum lahir) terjadi waktu bayi masih dalam kandungan penyebabnya seperti campek, diabetes, cacar, virus takso, juga ibu hamil yang kekurangan gizi, pemakai obat-obatan dan perokok berat.
b. Natal (waktu lahir) karena proses kelahiran yang terlalu lama sehingga kekurangan oksigen pada bayi, pinggul ibu terlalu kecil sehingga menyebabkan otak terjepit dan menimbulkan pendarahan pada otak, pada waktu proses melahirkan menggunakan alat bantu.

4. Gangguan motorik (tunadaksa) diklasifikasikan menjadi beberapa macam  yaitu:

a. Berdasarkan derajat kecacatannya
1) Ringan : dapat berjalan tanpa alat bantu, bicara jelas dan dapat menolong diri
2) Sedang : membutuhkan bantuan untuk latihan berbicara, berjalan, mengurus diri dan alat-alat khusus, seperti brace.
3) Berat : membutuhkan perawatan tetap dalam ambulasi, bicara dan menolong diri.

b. Berdasarkan letak kelainan otak dan fungsi geraknya
1) Pastik : adanya kekakuan pada sebagian atau seluruh ototnya.
2) Dyskenesia yang meliputi:
A’hetosis adalah penderita yang memperlihatkan gerak tidak terkontrol
Rigid adalah kekakuan pada seluruh tubuh sehingga sulit dibengkokkan.
Tremor adalah getaran kecil yang terus menerus pada mata, tangan atau kepala.
3) Ataxia : gangguan keseimbangan, jalannya gontai, koordinasi mata dan tangan tidak berfungsi.
4) Jenis campuran : seorang anak mempunyai kelainan dua/ lebih dari tipe diatas


Menguraikan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus

a. Karakteristik Anak Tunanetra

1. Segi Fisik
Secara fisik  anak-anak  tunanetra, nampak sekali adanya kelainan pada organ penglihatan/mata, yang secara nyata dapat dibedakan dengan anak-anak normal pada umumnya hal ini terlihat dalam aktivitas mobilitas dan respon motorik yang merupakan umpan balik dari stimuli visual.

2. Segi Motorik
Hilangnya   indera   penglihatan   sebenarnya   tidak   berpengaruh   secara langsung terhadap keadaan motorik anak tunanetra, tetapi dengan hilangnya pengalaman visual menyebabkan tunanetra kurang mampu melakukan orientasi lingkungan. 

3. Perilaku
Kondisi tunanetra tidak secara langsung menimbulkan masalah atau penyimpangan perilaku pada diri anak,meskipun demikian hal tersebut berpengaruh pada perilakunya. Anak     tunanetra sering menunjukkan perilaku stereotip, sehingga menunjukkan perilaku yang tidak semestinya. Manifestasi perilaku tersebut dapat berupa sering menekan matanya, membuat suara dengan jarinya, menggoyang-goyangkan kepala dan badan, atau berputar-putar.

4. Akademik
Secara umum kemampuan   akademik, anak-anak tunanetra sama seperti anak-anak  normal  pada  umumnya.  Keadaan  ketunanetraan  berpengaruh pada perkembangan keterampilan akademis, khususnya dalam bidang membaca dan menulis. 

5. Pribadi dan Sosial
Mengingat tunanetra mempunyai keterbatasan dalam belajar melalui pengamatan dan menirukan, maka anak   tunananetra sering mempunyai kesulitan dalam melakukan perilaku sosial yang benar. Sebagai akibat dari ketunanetraannya yang berpengaruh terhadap keterampilan sosial,  yang dari keadaan tersebut mengakibatkan tunanetra lebih terlihat memiliki sikap:
Curiga  yang  berlebihan  pada  orang  lain.
Mudah   tersinggung.  
Ketergantungan  pada  orang  lain. 

b. KarakteristikAnakTunarungu

1. Segi Fisik
  • Cara berjalannya kaku dan agak membungkuk.
  • Pernapasannya pendek, dan tidak teratur.
  • Cara melihatnya agak beringas.Penglihatan merupakan salah satu indra yang paling dominan bagi anak-anak penyandang tunarungu, dimana sebagian besar pengalamanannya diperoleh melalui penglihatan.

2. Segi Bahasa
Miskin akan kosa kata
Sulit  mengartikan  kata-kata  yang  mengandung  ungkapan,  atau idiomatic
Tatabahasanya kurang teratur

3. Intelektual
Kemampuan   intelektualnya   normal. 
Perkembangan  akademiknya  lamban  akibat  keterbatasan  bahasa. 

4. Sosial-emosional
Sering merasa curiga dan syakwa sangka.
Sering bersikap agresif

c. Karakteristik Anak Tunadaksa

1. Gangguan Motorik
Gangguan motoriknya berupa kekakuan, kelumpuhan, gerakan- gerakan yang tidak dapat dikendalikan, gerakan ritmis dan gangguan keseimbangan.Gangguan motorik ini meliputi motorik kasar dan motorik halus.

2. Gangguan Sensorik
Pusat sensoris pada manusia terleak otak, mengingat anak cerebral palsy adalah anak yang mengalami kelainan di otak, maka sering anak cerebral palsy  disertai  gangguan  sensorik,  beberapa  gangguan sensorik antara lain penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman dan perasa. Gangguan penglihatan pada cerebral palsy terjadi karena ketidakseimbangan otot-otot mata sebagai akibat kerusakan otak.Gangguan pendengaran pada anak cerebral palsy sering dijumpai pada jenis athetoid.

3. Gangguan Tingkat Kecerdasan
Walaupun anak cerebral palsy disebabkan karena kelainan otaknya tetapi keadaan kecerdasan anak cerebral palsy bervariasi, tingkat kecerdasan anak cerebral palsy mulai dari tingkat yang paling rendah sampai gifted. Sekitar 45% mengalami keterbelakanga nmental, dan 35% lagi mempunyai tingkat kecerdasan normal dan diatas rata-rata. Sedangkan sisanya cenderung dibawah rata-rata (Hardman, 1990).
4. Kemampuan Berbicara
Anak cerebral palsy mengalami gangguan wicara yang disebabkan oleh kelainan motorik otot-otot wicara terutama pada organ artikulasi seperti  lidah,  bibir,  dan  rahang  bawah, dan ada pula yang terjadi karena kurang dan tidak terjadi proses interaksi dengan lingkungan. Dengan keadaan yang demikian maka bicara anak-anak cerebral palsy menjadi tidak jelas dan sulit diterima orang lain.

5. Emosi dan Penyesuaian Sosial
Respon dan sikap masyarakat terhadap kelainan pada anak cerebral palsy, mempengaruhi pembentukan pribadi anak secara umum. Emosi anak sangat bervariasi, tergantung rangsang yang diterimanya. Secara umum tidak terlalu berbeda dengan anak–anak normal, kecuali beberapa kebutuhan yang tidak terpenuhi yang dapat menimbulkan emosi yang tidak terkendali.

d. Karakteristik Anak Tunagrahita

1. Intelektual
Dalam pencapaian tingkat kecerdasan bagi tunagrahita selalu dibawah rata-rata dengan anak yang seusia sama, demikian juga perkembangan kecerdasan sangat terbatas. Mereka hanya mampu mencapai tingkat usiamental setingkat usia mental anak usia mental anak Sekolah Dasar atau bahkan pra Sekolah.

2. Segi  sosial.
Dalam kemampuan bidang social juga mengalami kelambatan kalau dibandingkan dengan anak normal sebaya. Hal ini ditunjukkan dengan pergaulan mereka tidak dapat mengurus, memelihara, dan memimpin diri.

3. Ciri pada fungsi mental lainnya
Mereka mengalami kesukaran dalam memusatkan perhatian, jangkauan perhatiannya sangat sempit dan cepat beralih sehingga kurang tangguh dalam menghadapi tugas. Pelupa dan mengalami kesukaran mengungkapkan kembali suatu ingatan, kurang mampu membuat asosiasi serta sukar membuat kreasi baru.

4. Ciri dorongan dan emosi
Perkembangan dorongan emosi anak tunagrahita berbeda-beda sesuai dengan tingkat ketunagrahitaannya masing-masing. Anak yang berat dan sangat berat ketunagrahitaannya hamper tidak memperlihatkan dorongan untuk mempertahankan diri, dalam   keadaan haus dan lapar tidak menunjukkan tanda-tandanya, mendapat perangsang yang menyakitkan tidak mampu menjauhkan diri dari perangsang tersebut. Kehidupan emosinya lemah, dorongan biologisnya dapat berkembang tetapi penghayatannya terbatas pada perasaan senang, takut, marah, dan benci. 

5. Ciri kemampuan dalam bahasa
Kemampuan bahasa sangat terbatas  perbendaraaan kata  terutama kata yang abstrak. Pada anak yang ketunagrahitaannnya semakin berat banyak yang   mengalami   gangguan   bicara   disebabkan   cacat   artikulasi   dan problem dalam pembentukan bunyi.

6. Ciri kemampuan dalam bidang akademis
Mereka sulit mencapai bidang akademis membaca dan kemampuan menghitung yang problematis, tetapi dapat dilatih dalam  menghitung yang bersifat perhitungan.

7. Ciri kepribadian
Kepribadian anak tunagrahita dari berbagai penelitian oleh Leahy, Balla, dan Zigler (Hallahan & Kauffman,1988:69) bahwa anak yang merasa retarded tidak   percaya   terhadap   kemampuannya,   tidak   mampu mengontrol dan mengarahkan dirinya sehingga lebih banyak bergantung pada pihak luar (external locus of control).

8. Ciri kemampuan dalam organisme.
Kemampuan anak tunagrahita untuk mengorganisasi keadaan dirinya sangat jelek, terutama pada anak tunagrahita yang kategori berat. Hal ini ditunjukan dengan baru dapat berjalan dan berbicara pada usia dewasa, sikap gerak langkahnya kurang serasi, pendengaran dan penglihatannya tidak dapat difungsikan, kurang rentan terhadap perasaan sakit, bau yang tidak enak, serta makanan yang tidak enak.

Sedang karakteristik anak tunagrahita, yang lebih spesifik berdasarkan berat ringannya kelainan  dapat dikemukakan sebagai berikut:

1.   Mampudidik
Mampudidik merupakan istilah pendidikan yang digunakan untuk mengelompokkan tunagrahita ringan. Mampudidik memiliki kapasitas inteligensi antara 50 – 70 pada skala Binet maupun Weschler. 

2.   Mampulatih
Tunagrahita mampulatih secara fisik sering memiliki atau disertai dengan kelinan fisik baik sensori mapupun motoris, bahkan hampir semua anak yang memiliki kelainan dengan tipe klinik masuk pada kelompok mampu latih sehingga sangat mudah untuk mendeteksi anak mampu latih, karena penampilan fisiknya (kesan lahiriah) berbeda dengan anak normal sebaya. Anak mampu latih memiliki kapasitas inteligensi (IQ) berkisarantara30-50.

3.   Perlu rawat
Anak perlu rawat adalah klasifikasi anak tunagrahita yang paling berat, jika pada istilah kedokteran disebut dengan idiot.

e. Karakteristik Anak Tunalaras

Beberapa karakteristik yang menonjol dari anak-anak berkebutuhan khusus yang mengalami kelainan perilaku sosial ini adalah:

1.   Karakteristik umum
Mengalami gangguan perilaku
Mengalami kecemasan
urang dewasa
Agresif

2.   Sosial /emosi
Sering melanggar norma masyarakat
Sering mengganggu dan bersifat agresif
Secara  emosional  sering  merasa  rendah  diri  dan  mengalami kecemasan

3. Karakteristik akademik
•  Hasil belajarnya seringkali jauh di bawah rata-rata
•  Seringkali tidak naik kelas
•  Sering membolos sekolah
•  Seringkali melanggar peraturan sekolah dan lalulintas.


f. Karaktersitik Anak Berbakat
Anak berbakat dalam konteks ini adalah anak-anak yang mengalami kelainan intelektual diatas rata-rata. Berkenaan dengan kemampuan intelektual  ini  Cony  Semiawan  (1997:24)  mengemukakan,  bahwa diperkirakan satu persen dari populasi total penduduk Indonesia yang rentangan IQ sekitar 137 ke atas, merupakan manusia berbakat tinggi (highly gifted), sedangkan mereka yang rentangannya berkisar 120-137 yaitu yang mencakup rentangan 10 persen di bawah yang satu persen itu disebut moderately gifted. Mereka semua memiliki talenta ademik (academic talented) atau keberbakatan intelektual.

1.   Karakteristik Intelektual
•  Proses belajarnya sangat cepat
•  Tekun dan rasa ingin tahu yang besar
•  Rajin membaca
•  Memiliki perhatian yang lama dalam suatu bidang khusus
•  Memiliki pemahaman yang sangat majau terhadap suatu konsep
•  Memiliki sifat kompetitif yang tinggi dalamsuatu bidang akademik

2.   Karakteristik Sosial-emosional
  • Mudah diterima teman-teman sebaya dan orang dewasa
  • Melibatkan diri dalam berbagai kegiatan sosial, dan memberikan sumbangan pemikiran yang konstruktif
  • Kecenderungan sebagai pemisah dalamsuatu pertengkaran
  • Memiliki kepercayaan tentang persamaan derajat semua orang,dan jujur
  • Perilakunya tidak defensif, dan memiliki tenggang rasa
  • Bebas dari tekanan emosi dan mampu mengontrol emosinya sesuai situasi, dan merangsang perilaku produktif bagi orang lain.
  • Memiliki kapasitas yang luar biasa dalam menanggulangi masalah sosial.
3.   Karakteristik Fisik-kesehatan
•  Berpenampilan rapi dan menarik
•  Kesehatannya berada lebihbaik di atas rata-rata


g. Karaktersitik Anak Berkesulitan Belajar
Secara  umum     berkesulitan  belajar   spesifik   adalah   anak   yang mengalami gangguan pada satu atau lebih dari proses  psikologi dasar termasuk pemahaman dalam menggunakan bahasa lisan atau tertulis yang dimanifestasikan dalam ketidak sempurnaan mendengar, berfikir, wicara, membaca, mengeja atau mengerjakan hitungan matematika. Dimensinya mencakup:
•  Disfungsi pada susunan syaraf pusat (otak),
•  Kesenjangan (discrepancy) antara potensi dan prestasi
•  Keterbatasan proses psikologis
•  Kesulitan pada tugas akademik dan belajar
Kesenjangan antara potensi dan prestasi dalam berprestasi untuk mencapai kompetensi yang telah ditetapkan. Untuk memahami anak berkesulitan belajar spesifik memang harus mengenal karakteristik atau ciri-ciri khusus yang muncul pada anak-anak berkesulitan belajar, yang umumnya baru terdeteksi setelah anak usia 8 – 9 tahun atau kelas 3 – 4 SD, adapun karakteristik yang dapat diamati adalah adanya kesenjangan (discrepancy) antara potensi anak dengan prestasi (akademik) dan perkembangan yang dicapai, kesenjangan ini minimal 2 level akademik atau 2 tahun perkembangan. Memiliki kesulitan pada satu bidang akademik/perkembangan yang tertinggal dibandingkan dengan bidang akademik/perkembangan lain yang dimiliki anak (perbedaan intra individual).


Menjelaskan Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi adalah bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menyatukan anak-anak berkebutuhan khusus dengan anak-anak normal pada umumnya untuk belajar. Menurut Hildegun Olsen (Tarmansyah,2007;82), pendidikan inklusi adalah sekolah harus mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, intelektual, social emosional, linguistic atau kondisi lainnya.

Istilah pendidikan inklusi atau inklusif, mulai terkenal semenjak tahun 1990, ketika konferensi dunia tentang pendidikan untuk semua, yang diteruskan dengan pernyataan salamanca tentang pendidikan inklusif pada tahun 1994.

Konsep pendidikan inklusi muncul dimaksudkan untuk memberi solusi, adanya perlakuan diskriminatif dalam layanan pendidikan terutama bagi anak-anak penyandang cacat atau anak-anak yang berkebutuhan khusus. 

Sementara itu Sapon-Shevin (ONeil,1995) menyatakan bahwa pendidikan inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat. Melalui pendidikan inklusi, anak berkebutuhan khusus di didik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995) hal ini dilandasi oleh suatu kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan anak tidak normal (berkebutuhan khusus) yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas sosial.

1. Tujuan Pendidikan Inklusi
Tujuan pendidikan inklusi menurut Raschake dan Bronson (Lay Kekeh Marthan, 2007:189-190), terbagi menjadi 3 yakni bagi anak berkebutuhan khusus, bagi pihak sekolah, bagi guru, dan bagi masyarakat, lebih jelasnya adalah sebagai berikut:

a. Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
  • Anak akan merasa menjadi bagian dari masyarakat pada umumnya.
  • Anak akan  memperoleh  bermacam-macam  sumber  untuk  belajar  dan bertumbuh.
  • Meningkatkan harga diri anak.
  • Anak memperoleh kesempatan untuk belajar dan menjalin persahabatan bersama teman yang sebaya.
b. Bagi Pihak Sekolah
  • memperoleh pengalaman untuk mengelola berbagai perbedaan dalam satu kelas.
  • mengembangkan apresiasi bahwa setiap orang memiliki  keunikan dan kemampuan yang berbeda satu dengan lainnya.
  • Meningkatkan kepekaan terhadap keterbatasan oranglain dan rasa empati pada keterbatasan anak.
  • Meningkatkan kemempuan untuk menolong dan mengajar semua anak dalam kelas
c. Bagi Guru
  • Membantu guru untuk menghargai perbedaan pada setiap anak dan mengakui bahwa anak berkebutuhan khusus juga memiliki kemampuan
  • Menciptakan kepedulian bagi setiap guru terhadap pentingnya pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus.
  • Guru akan merasa tertantang untuk menciptakan metode-metode baru dalam pembelajaran dan mengembangkan kerjasama dalam memecahkan masalah.
  • Meredam kejenuhan guru dalam mengajar.
d. Bagi Masyarakat
  • Meningkatkan kesetaraan social dan kedamaian dalam masyarakat.
  • Mengajarkan kerjasama dalam masyarakat dan mengajarkan setiap anggota masyarakat tentang proses demokrasi. 
  • Membangun rasa saling mendukung dan saling membutuhkan antar anggota masyarakat.
2. Karekteristik Pendidikan Inklusi
Karakteristik dalam pendidikan inklusi tergabung dalam beberapa hal seperti hubungan, kemampuan, pengaturan tempat duduk, materi belajar, sumber yang dijelaskan sebagai berikut:

a. Hubungan
Ramah dan hangat.

b. Kemampuan
Guru, peserta didik dengan latar belakang dan kemampuan yang berbeda serta orang tua sebagai pendamping.

c. Pengaturan tempat duduk
Pengaturan tempat dudukyang bervariasi

d. Materi belajar
Berbagai bahan yang bervariasi untuk semua mata pelajaran

e. Sumber
Guru menyusun rencana harian dengan melibatkan anak

3. Kurikulum Sekolah Inklusi
Kurikulum yang digunakan disekolah inklusi adalah kurikulum anak normal (regular) yang disesuaikan (dimodifikasi sesuai) dengan kemampuan awal dan karakteristik siswa. Lebih lanjut, menurut Direktorat PLB (Tarmansyah,2007:168)  modifikasi dapat dilakukan dengan cara modifikasi alokasi waktu, modifikasi isi/materi, modifikasi proses belajar mengajar, modifikasi sarana dan prasarana, modifikasi lingkungan untuk belajar, dan modifikasi pengelolaan kelas. Dengan kurikulum akan memberikan peluang terhadap tiap-tiap anak untuk mengaktualisasikanpotensinyasesuaidenganbakat, kemampuannya dan perbedaan yang ada pada setiap anak.

4. Tenaga Kependidikan Dalam Layanan ABK
Personil pendidikan ABK tidak jauh berbeda dengan personil pendidikan umum lainnya. Personil yang dimaksud adalah sebagai berikut :

a. Tenaga Guru
Guru yang bertugas pada pendidikan ABK harus memiliki kualifikasi dan kemampuan yang dipersyaratkan. 
b. Tenaga Ahli
Tenaga ahli dalam pendidikan ABK sangat diperlukan keberadaannya untuk ikut membantu pemecahan permasalahan anak dalam bidang nonakademik.
c. Tenaga Administrasi 
Untuk kelancaran proses belajar-mengajar perlu dukungan tenaga administrasi sekolah sebagai tenaga non akademik keberadaannya sangat diperlukan untuk kelancaran tugas-tugas sekolah secara umum.

Kreativitas



Pengertian Kreativitas

Kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang untuk menemukan dan menciptakan suatu hal baru,cara-cara baru, model baru, yang berguna bagi dirinya dan masyarakat. 
Menurut David Campbell, Kreativitas adalah suatu kemampuan untuk menciptakan hasil yang sifatnya baru, inovatif, belum ada sebelumnya, menarik, aneh dan berguna bagi masyarakat.
Menurut Drevdahl (Hurlock; 1978 : 3) Kreativitas adalah kemampuan untuk memproduksi komposisi dan gagasan-gagasan baru yang dapat berwujud aktivitas imajinatif atau sentesis yang mungkin melibatkan pembentukan pola-pola bar dan kombinasi dari pengalaman masa lalu yang dihubungkan dengan yang sudah ada pada situasi sekarang.


Rhodes mengelompokkan definisi-definisi kreativitas ke dalam empat kategori yaitu sebagai berikut :
1. Product
2. Person
3. Process
4. Press


Perkembangan Kreativitas

1. Tahap sensorik – motorik ( 0 – 2 tahun)
Pada tahap ini belum memiliki kemampuan untuk mengembangkan kreativitasnya. Sebab, pada tahap ini tindakan-tindakan anak masih berupa tindakan-tindakan fisik yang bersifat refleksif.

2. Tahap Praoperasional ( 2 – 7 tahun)
Pada tahap ini kemampuan mengembangkan kreativitas sudah mulai tumbuh karena anak sudah mulai tumbuh karena anak sudah mulai mengembangkan memori dan telah memiliki kemampuan untuk memikirkan masa lalu dan masa yang akan dating.


3. Tahap Operasional Konkrit ( 7 – 11 tahun)

Faktor-faktor yang memungkinkan semakin berkembangnya kreativitas itu adalah:
  • Anak sudah mulai mampu untuk menampilkan operasi-operasi mental
  • Mulai mampu berpikir logis dalam bentuk yang sederhana
  • Mulai berkembang kemampuan untuk memelihara identitas-identitas diri
  • Konsep tentang ruang sudah semakin meluas
  • Sudah amat menyadari akan adanya masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang
  • Sudah mampu mengimajinasikan sesuatu, meskipun biasanya masih memerlukan bantuan objek-objek konkrit.
4. Tahap Operasional Formal ( 11 tahun ke atas)

Ada beberapa faktor yang mendukung berkembangnya potensi kreativitas ini, yakni :
  • Remaja sudah mampu melakukan kombinasi tindakan secara proposional berdasarkan pemikiran logis
  • Remaja sudah mampu melakukan kombinasi objek-objek secara proporsional berdasarkan pemikiran logis
  • Remaja sudah memiliki pemahaman tentang ruang relatif
  • Remaja sudah memiliki pemahaman tentang waktu relative
  • Remaja sudah mampu melakukan pemisahan dan pengendalian variabel-variabel dalam menghadapi masalah yang kompleks
  • Remaja sudah mampu melakukan abstraksi relative dan berpikir hipotesis
  • Remaja sudah memiliki diri ideal
  • Remaja sudah menguasai bahasa abstrak

Tahap-tahap Kreativitas

1. Persiapan (preparation)
Merupakan tahap awal berisi kegiatan pengenalan masalah, pengumpulan data-informasi yang relevan, melihat hubungan antara hipotesis dengan kaidah-kaidah yang ada.
2. Inkubasi (incubation)
Merupakan tahap menjelaskan, membatasi, membandingkan masalah. 
3. Iluminasi (illumination)
Merupakan tahap mencari dan menemukan kunci pemecahan, menghimpun informasi dari luaruntuk dianalisis dan disintesiskan kemudian merumuskan beberapa keputusan.
4. Ferifikasi (verification)
Merupakan tahap mentes dan membuktikan hipotesis, apakah keputusan yang diambil itu tepat atau tidak.

Karakteristik Kreativitas

a. Diers (Adams : 1976) mengemukakan bahwa karakteristik :

1)      Memiliki dorongan (drive) yang tinggi
2)      Memiliki rasa ingin tahu yang besar
3)      Penuh percaya diri
4)      Toleran terhadap ambiguitas
5)      Bersifat sensitive, dan lain-lain

b. Utami Munandar (1992) mengemukakan cirri-ciri kreativitas antara lain :

1)      Senang mencari pengalaman baru
2)      Memiliki inisiatif
3)      Selalu ingin tahu
4)      Mempunyai rasa humor
5)      Berwawasan masa depan dan penuh imajinasi, dan lain-lain.

c. Clark (1988) mengemukakan karakteristik kreativitas adalah sebagai berikut:

1)      Memiliki disiplin diri yang tinggi
2)      Senang berpetualang
3)      Memiliki wawasan yang luas
4)      Mampu berpikir periodic
5)      Memerlukan situasi yang mendukung
6)      Sensitif terhadap lingkungan
7)      Memiliki nilai estetik yang tinggi

d. Torance (1981) mengemukakan karakteristik kreativitas adalah :

1)      Memiliki rasa ingin tahu yang besar
2)      Tekun dan tidak mudah bosan
3)      Percaya diri dan mandiri
4)      Berani mengambil resiko
5)      Berpikir divergen

Sikap Orang Tua Terhadap Perkembangan Kreativitas Anak


Sikap orang tua disini akan dibedakan antara sikap orang tua yang menunjang dan yang tidak menunjang pengembangan kreatif anak.

Munandar (1999) menjelaskan bahwa dari berbagai penelitian diperoleh hasil, bahwa sikap orang tua yang memupuk kreativitas anak, ialah:
  • Menghargai pendapat anak dan mendorongnya untuk mengungkapkannya.
  • Memberi waktu kepada anak untuk berpikir, merenung, dan berkhayal.
  • Membiarkan anak mengambil keputusan sendiri.
  • Mendorong kemelitan anak, untuk menjajaki dan mempertanyakan banyak hal.
  • Meyakinkan anak bahwa orang tua menghargai apa yang ingin dicoba dilakukan, dan apa yang dihasilkan.
  • Menunjang dan mendorong kegiatan anak.
  • Menikmati keberadaannya bersama anak.
  • Memberi pujian yang sungguh-sungguh kepada anak.
  • Mendorong kemandirian anak dalam bekerja.
  • Melatih hubungan kerja sama yang baik dengan anak.
  • Sikap orang tua yang tidak menunjang kreativitas anak
Menurut Munandar (1999), sikap orang tua yang tidak menunjang pengembangan kreativitas anak ialah:
  • Mengatakan kepada anak bahwa ia dihukum jika berbuat salah.
  • Tidak membolehkan anak menjadi marah terhadap orang tua.
  • Tidak membolehkan anak mempertanyakan keputusan orang tua.
  • Tidak memperbolehkan anak bermain dengan anak dari keluarga yang mempunyai pandangan dan nilai yang berbeda dari keluarga anak.
  • Anak tidak boleh berisik.
  • Orang tua ketat mengawasi kegiatan anak.
  • Orang tua memberi saran-saran spesifik tentang penyelesaian tugas.
  • Orang tua kritis terhadap anak dan menolak gagasan anak.
  • Orang tua tidak sabar dengan anak.
  • Orang tua dan anak adu kekerasan.
  • Orang tua menekan dan memaksa anak untuk menyelesaikan tugas.


Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Kreativitas

Clark (1983) mengkategorikan faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas ke dalam 2 kelompok yakni :

a.      Faktor-faktor yang mendukung

1)      Situasi yang menghadirkan ketidaklengkapan serta keterbukaan
2)      Situasi yang memungkinkan dan mendorong timbulnya banyak pertanyaan
3)      Situasi yang dapat mendorong dalam rangka menghasilkan sesuatu
4)      Situasi yang mendorong tanggung jawab dan kemandirian

b.   Faktor-faktor yang menghambat

1)      Tidak menghargai terhadap fantasi dan hayalan
2)      Otoritarianisme
3)      Diferensiasi antara bekerja dan bermain
4)      Stereotif peran seks/jenis kelamin
5)      Kurang berani dalam melakukan eksplorasi, menggunakan imajinasi, dan penyelidikan.

Utami Munandar (1988) mengemukakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kreativitas adalah :
a.      Usia
b.      Tingkat pendidikan orangtua
c.      Tersedianya fasilitas
d.      Penggunaan waktu luang

Upaya Membantu Mengembangkan Kreativitas dan Implikasinya Dalam Pendidikan

Dalam konteks relasi dengan anak-anak kreatif Torrance (1977) menamakan relasi bantuan dengan istilah “Creative relationship” yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
  • Pembimbing berusaha memahami pikiran dan perasaan anak
  • Pembimbing mendorong anak untuk mengungkapkan gagasan-gagasannya tanpa mengalami hambatan
  • Pembimbing lebih menekan pada proses daripada hasil sehingga pembimbing dituntut mampu memandang permasalahan anak sebagai bagian dari keseluruhan dinamika perkembangan dirinya.
  • Pembimbing tidak memaksakan pendapat, pandangan, atau nilai-nilai tertentu kepada anak.
  • Pembimbing berusaha mengeksplorasi segi-segi positif yang dimiliki anak dan bukan sebaliknya mencari-cari kelemahan anak.

Dedi Supriadi (1994) mengemukakan sejumlah bantuan yang dapat digunakan untuk membimbing perkembangan anak-anak kreatif, yaitu sebagai berikut:
  • Menciptakan rasa aman kepada anak untuk mengekspresikan kreativitasnya
  • Mengakui dan menhargai gagasan-gagasan anak
  • Menjadi pendorong bagi anak untuk mengkombinasikan dan mewujudkan gagasan-gagasannya.
  • Membantu anak memahami divergensinya dalam berpikir dan bersikap dan bukan malah menghukumnya
  • Memberikan peluang untuk mengkomunikasikan gagasan-gagasannya
  • Memberikan informasi-informasi mengenai peluang-peluang yang tersedia





Reference


Sukmadinata, Syaodih Nana, Landasan Psikologi Proses Pendidikan, 2009, Bandung : PT Remaja Rosdakarya
http://www.psychologymania.com/2011/07/kreativitas-identifikasi-perkembangan.html
http://www.yandanur.web.id/2011/01/perkembangan-kreativitas.html
http://veliarryandre.blogspot.com/2012/10/makalah-kreatifitas.html

Emosi


Pengertian Emosi

Secara etimologis emosi berasal dari kata Prancis emotion, yang berasal lagi dari emouvoir, ‘exicte’ yang berdasarkan kata Latin emovere, artinya keluar.Dengan demikian secara etimologis emosi berati “bergerak keluar”.
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa emosi adalah suatu keadaan kejiwaan yang mewarnai tingkah laku. Emosi juga diartikan sebagai suatu reaksi psikologis dalam bentuk tingkah laku gembira, bahagia, sedih, berani, takut, marah, muak, haru, cinta, dan sejenisnya. Biasanya emosi muncul dalam bentuk luapan perasaan dan surut dalam waktu yang singkat.Hathersall (1985) merumuskan pengertian emosi sebagai suatu psikologis yang merupakan pengalaman subyektif yang dapat dilihat dari reaksi wajah dan tubuh.Misalnya seorang remaja yang sedang marah memperlihatkan muka merah, wajah seram, dan postur tubuh menegang, bertingkah laku menendang atau menyerang, serta jantung berdenyut cepat.
Selanjutnya Keleinginna and Keleinginan (1981) berpendapat bahwa emosi seringkali berhubungan dengan tujuan tingkah laku.Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling), misalnya pengalaman-pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah, takut bahagia, sedih dan jijik.
Emosi merupakan perpaduan dari beberapa perasaan yang mempunyai itensitas yang relatif tinggi, dan menimbulkan suatu gejolaksuasana batin, suatu stirred up or aroused state of the human organization. 
Dari berbagai pengertian emosi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa emosi merupakan reaksi psikologi seseorang dalam bertindak atau melakukan suatu tindakan, misalnya menangis, marah, benci, takut, sedih, haru, cinta, muak, bahagia dan lain-lain.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Emosi


1. Faktor Internal
Umumnya emosi seseorang muncul berkaitan erat dengan apa yang dirasakan seseorang secara individu. Mereka merasa tidak puas, benci terhadap diri sendiri dan tidak bahagia. Adapun gangguan emosi yang mereka alami antara lain adalah:
  • Merasa tidak terpenuhi kebutuhan fisik mereka secara layak sehingga timbul ketidakpuasan, kecemasan dan kebencian terhadap apa yang mereka alami.
  • Merasa dibenci, disia-siakan, tidak mengerti dan tidak diterima oleh siapapun termasuk orang tua mereka.
  • Merasa lebih banyak dirintangi, dibantah, dihina serta dipatahkan dari pada disokong, disayangi dan ditanggapi, khususnya ide-ide mereka.
  • Merasa tidak mampu atau bodoh.
  • Merasa tidak menyenangi kehidupan keluarga mereka yang tidak harmonis seperti sering bertengkar, kasar, pemarah, cerewet dan bercerai.
  • Merasa menderita karena iri terhadap saudara karena disikapi dan dibedakan secara tidak adil.

2. Faktor eksternal
Menurut Hurlock (1980) dan Cole (1963) faktor yang mempengaruhi emosi adalah :
  • Orang tua atau guru memperlakukan mereka seperti anak kecil yang membuat harga diri mereka dilecehkan.
  • Apabila dirintangi, anak membina keakraban dengan lawan jenis.
  • Terlalu banyak dirintangi dari pada disokong, misalnya mereka lebih banyak disalahkan, dikritik oleh orang tua atau guru, akan cenderung menjadi marah dan mengekspresikannya dengan cara menentang keinginan orang tua, mencaci maki guru, atau masuk geng dan bertindak merusak (destruktif).
  • Disikapi secara tidak adil oleh orang tua, misalnya dengan cara membandingkan dengan saudaranya yang lebih berprestasi dan lainnya.
  • Merasa kebutuhan tidak dipenuhi oleh orang tua padahal orang tua mampu.
  • Merasa disikapi secara otoriter, seperti dituntut untuk patuh, banyak dicela, dihukum dan dihina.
Perkembangan Nilai, Moral dan Sikap

Nilai (value) merupakan rujukan dan keyakinan dalam menentukan pilihan, ukuran untuk menentukan apakah sesuatu itu baik atau buruk. Nilai adalah berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama, dan rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang dalam menjalani kehidupannya.
Nilai-nilai kehidupan adalah norma-norma yang berlaku dalam masyarakat, misalnya adat kebiasaan dan sopan santun (Sutikna, 1988 : 5). Sopan santun, adat, dan kebiasaan serta nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila adalah nilai-nilai hidup yang menjadi pegangan seseorang dalam kedudukannya sebagai warga negara Indonesia dalam hubungan hidupnya dengan negara serta dengan sesama warga negara.
Nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila yang termasuk dalam sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, antara lain:
1.    Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
2.    Mengembangkan sikap tenggang rasa.
3.    Tidak semana-mena terhadap orang lain, berani membela kebenaran dan keadilan, dan sebagainya.
Moral adalah ajaran tentang baik buruk perbuatan dan kelakuan, akhlak, kewajiban, dan sebagainya (Purwodarminto, 1957 : 957). Dalam moral diatur segala perbuatan yang dinilai baik dan perlu dilakukan, dan sesuatu perbuatan yang dinilai tidak baik dan perlu dihindari. Moral berkaitan dengan kemampuan untuk membedakan antara perbuatan yang benar dan yang salah. Dengan demikian, moral merupakan kendali dalam bertingkah laku.
Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan perasaan, pemahaman, gagasan, rasa takut, perasaan terancam dan keyakinan-keyakinan tentang suatu hal. Sikap adalah kesiapan seseorang untuk memperlakukan sesuatu objek. Dengan kata lain bahwa sikap itu adalah kecenderungan bertindak pada seseorang.
Sikap berkaitan dengan motif dan mendasari tingkah laku seseorang, dapat diramalkan tingkah laku apa yang dapat terjadi dan akan diperbuat jika telah diketahui sikapnya. Sikap belum merupakan suatu tindakan atau aktivitas, akan tetapi berupa kecenderungan (predisposisi) tingkah laku. Jadi sikap merupakan kesiapan untuk bereaksi terhadap objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek tersebut.
Menurut Danel Suasanto, pertumbuhan ataupun perkembangan pada masa remaja biasanya ditandai oleh beberapa perubahan-perubahan seperti dibawah ini :

1. Perubahan Fisik 
Pada masa remaja terjadi pertumbuhan fisik yang cepat dan proses kematangan seksual. Beberapa kelenjar yang mengatur fungsi seksualitas pada masa ini telah mulai matang dan berfungsu. Disamping itu tanda-tanda seksual sekunder telah mulai nampak pada diri remaja.

2. Perubahan intelek
Menurut perkembangan kognitif yang dibuat oleh Jean Piaget, seorang remaja telah beralih dari masa konkrit-operasional ke masa formal-operasional. Pada masa konkrit-operasional, seseorang mampu berpikir sistematis terhadap hal-hal atau obyek-obyek yang bersifat konkrit, sedang pada masa formal operasional ia sudah mampu berpikir se-cara sistematis terhadap hal-hal yang bersifat abstrak dan hipotetis. Pada masa remaja, seseorang juga sudah dapat berpikir secara kritis.

3. Perubahan emosi
Pada umumnya remaja bersifat emosional. Emosinya berubah menjadi labil. Menurut aliran tradisionil yang dipelopori oleh G. Stanley Hall, perubahan ini terutama disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada kelenjar-kelenjar hor-monal. Namun penelitian-penelitian ilmiah selanjutnya menolak pendapat ini. Sebagai contoh, Elizabeth B. Hurlock menyatakan bahwa pengaruh lingkungan sosial terhadap per-ubahan emosi pada masa remaja lebih besar artinya bila dibandingkan dengan pengaruh hormonal.

4. Perubahan sosial
Pada masa remaja, seseorang memasuki status sosial yang baru. Ia dianggap bukan lagi anak-anak. Karena pada masa remaja terjadi perubahan fisik yang sangat cepat sehingga menyerupai orang dewasa, maka seorang remaja juga sering diharapkan bersikap dan bertingkahlaku seperti orang dewasa. Pada masa remaja, seseorang cenderung untuk meng-gabungkan diri dalam ‘kelompok teman sebaya’. Kelompok so-sial yang baru ini merupakan tempat yang aman bagi remaja. Pengaruh kelompok ini bagi kehidupan mereka juga sangat kuat, bahkan seringkali melebihi pengaruh keluarga. Menu-rut Y. Singgih D. Gunarsa & Singgih D. Gunarsa, kelompok remaja bersifat positif dalam hal memberikan kesempatan yang luas bagi remaja untuk melatih cara mereka bersikap, bertingkahlaku dan melakukan hubungan sosial. Namun kelompok ini juga dapat bersifat negatif bila ikatan antar mereka menjadi sangat kuat sehingga kelakuan mereka menjadi “overacting’ dan energi mereka disalurkan ke tujuan yang bersifat merusak.

5. Perubahan moral
Pada masa remaja terjadi perubahan kontrol tingkahlaku moral: dari luar menjadi dari dalam. Pada masa ini terjadi juga perubahan dari konsep moral khusus menjadi prinsip moral umum pada remaja. Karena itu pada masa ini seorang remaja sudah dapat diharapkan untuk mempunyai nilai-nilai moral yang dapat melandasi tingkahlaku moralnya. Walaupun demikian, pada masa remaja, seseorang juga mengalami kegoyahan tingkah laku moral. Hal ini dapat dikatakan wajar, sejauh kegoyahan ini tidak terlalu menyimpang dari moraliatas yang berlaku, tidak terlalu merugikan masyarakat, serta tidak berkelanjutan setelah masa remaja berakhir.

Teori Perkembangan Moral

Menurut teori Kohlberg telah menekankan bahwa perkembangan moral didasarkan terutama pada penalaran moral dan berkembang secara bertahap.Dalam Teori Kohlberg mendasarkan teori perkembangan moral pada prinsip-prinsip dasar hasil temuan Piaget.Menurut Kohlberg sampai pada pandangannya setelah 20 tahun melakukan wawancara yang unik dengan anak-anak. Dalam wawancara , anak-anak diberi serangkaian cerita dimana tokoh-tokohnya menghadapi dilema-dilema moral. Berikut ini ialah dilema Kohlberg yang paling populer:
”Di Eropa seorang perempuan hampir meninggal akibat sejenis kanker khusus. Ada satu obat yang menurut dokter dapat menyelamatkannya. Obat tersebut adalah sejenis radium yang baru-baru ini ditemukan oleh seorang apoteker di kota yang sama. Biaya membuat obat ini sangat mahal, tetapi sang apoteker menetapkan harganya 10X lebih mahal dari biaya pembuatan obat tersebut. Untuk pembuatan 1 dosis obat ia membayar $ 200 dan menjualnya $2.000. Suami pasien perempuan, Heinz pergi ke setiap orang yang ia kenal untuk meminjam uang, tetapi ia hanya dapat mengumpulkan $1.000 atau hanya setengah dari harga obat. Ia memberitahu apoteker bahwa istrinya sedang sakit dan memohon agar apoteker bersedia menjual obatnya lebih murah atau membolehkannya membayar setengahnya kemudian. Tetapi sang apoteker berkata ”tidak, aku menemukan obat, dan aku harus mendapatkan uang dari obat itu.” Heinz menjadi nekat dan membongkar toko obat itu untuk mencuri obat bagi istrinya.”
Cerita ini adalah salah satu dari 11 cerita yang dikembangkan oleh Kohlberg untuk menginvestigasi hakekat pemikiran moral.Setelah membaca cerita, anak-anak yang menjadi responden menjawab serangkaian pertanyaan tentang dilema moral.Haruskah Heinz mencuri obat?Apakah mencuri obat tersebut benar atau salah?Pataskah suami yang baik itu mencuri? Dll. Berdasarkan penalaran-penalaran yang diberikan oleh responden dalam merespon dilema moral ini dan dilema moral lain. Dengan adanya cerita di atas menurut Kohlberg menyimpulkan terdapat 3 tingkat perkembangan moral, yang masing-masing ditandai oleh 2 tahap.
Konsep kunci untuk memahami perkembangan moral, khususnya teori Kohlberg , ialah internalisasi yakni perubahan perkembangan dari perilaku yang dikendalikan secara eksternal menjadi perilaku yang dikendalikan secara internal.
Teori Perkembangan moral dalam psikologi umum menurut Kohlberg terdapat 3 tingkat dan 6 tahap pada masing-masing tingkat terdapat 2 tahap diantaranya sebagai berikut :

Tingkat Satu : Penalaran Prakonvensional.
Penalaran Prakonvensional adalah : tingkat yang paling rendah dalam teori perkembangan moral Kohlberg. Pada tingkat ini, anak tidak memperlihatkan internalisasi nilai-nilai moral- penalaran moral dikendalikan oleh imbalan (hadiah) dan hukuman eksternal. Dengan kata lain aturan dikontrol oleh orang lain (eksternal) dan tingkah laku yang baik akan mendapat hadiah dan tingkah laku yang buruk mendapatkan hukuman.

Tahap I. Orientasi hukuman dan ketaatan.
Yaitu : tahap pertama yang mana pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas hukuman dan anak taat karena orang dewasa menuntut mereka untuk taat

Tahap II. Individualisme dan tujuan
Pada tahap ini penalaran moral didasarkan atas imbalan (hadiah)dan kepentingan sendiri. Anak-anak taat bila mereka ingin taat dan bila yang paling baik untuk kepentingan terbaik adalah taat.Apa yang benar adalah apa yang dirasakan baik dan apa yang dianggap menghasilkan hadiah.


Tingkat Dua : Penalaran Konvensional
Penalaran Konvensional merupakan suatu tingkat internalisasi individual menengah dimana seseorang tersebut menaati stándar-stándar (Internal)tertentu, tetapi mereka tidak menaati stándar-stándar orang lain (eksternal)seperti orang tua atau aturan-aturan masyarakat.

Tahap III. Norma-norma Interpersonal
Yaitu dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Seorang anak mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagai yang terbaik.

Tahap IV Moralitas Sistem Sosial
Yaitu dimana suatu pertimbangan itu didasarkan atas pemahaman atuyran sosial, hukum-hukum, keadilan, dan kewajiban.

Tingkat Tiga : Penalaran Pascakonvensional
Yaitu Suatu pemikiran tingkat tinggi dimana moralitas benar-benar diinternalisasikan dan tidak didasarkan pada standar-standar orang lain. Seseorang mengenal tindakan-tindakan moral alternatif, menjajaki pilihan-pilihan, dan kemudian memutuskan berdasarkan suatu kode.

Tahap V. Hak-hak masyarakat versus hak-hak individual
Yaitu nilai-nilai dan aturan-aturan adalah bersifat relatif dan bahwa standar dapat berbeda dari satu orang ke orang lain.

Tahap VI. Prinsip-prinsip Etis Universal
Yaitu seseorang telah mengembangkan suatu standar moral yang didasarkan pada hak-hak manusia universal. Dalam artian bila sseorang itu menghadapi konflik antara hukum dan suara hati, seseorang akan mengikuti suara hati.

Pada perkembangan moral menurut Kohlberg menekankan dan yakin bahwa dalam ketentuan diatas terjadi dalam suatu urutan berkaitan dengan usia. Pada masa usia sebelum 9 tahun anak cenderung pada prakonvensional. Pada masa awal remaja cenderung pada konvensional dan pada awal masa dewasa cenderung pada pascakonvensional.Demikian hasil teori perkembangan moral menurut kohlberg dalam psikologi umum. Ketika kita khususkan dalam memandang teori perkembangan moral dari sisi pendidikan pada peserta didik yang dikembangkan pada lingkungan sekolah maka terdapat 3 tingkat dan 6 tahap yaitu :

Tingkat Satu : Moralitas Prakonvensional
Yaitu : ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.
Pada tingkat pertama ini terdapat 2 tahap yaitu :

Tahap 1.Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan penghindaran dari hukuman.

Tahap 2.Memperhatikan Pemuasan kebutuhan.
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.

Tingkat Dua : Moralitas Konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai kesepakatan tradisi sosial.

Pada Tingkat II ini terdapat 2 tahap yaitu :

Tahap 3. Memperhatikan Citra Anak yang Baik
Maksudnya : anak dan remaja berperilaku sesuai dengan aturan dan patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa, bukan untuk menghindari hukuman. Semua perbuatan baik dan buruk dinilai berdasarkan tujuannya, jadi ada perkembangan kesadaran terhadap perlunya aturan.Dalam hal ini terdapat pada pendidikan anak. Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian, dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.

Tahap 4.Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang dan aturan.Hukum harus ditaati oleh semua orang.

Tingkat Tiga : Moralitas Pascakonvensional
Yaitu ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala situasi.

Pada perkembangan moral di tingkat 3 terdapat 2 tahap yaitu :

Tahap 5. Memperhatikan Hak Perseorangan.
Maksudnya dalam dunia pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik dengan hak pribadi sesuai dengan aturan dan patokan sosial. Perubahan hukum dengan aturan dapat diterima jika ditentukan untuk mencapai hal-hal yang paling baik..Pelanggaran hukum dengan aturan dapat terjadi karena alasan-alasan tertentu.

Tahap 6.Memperhatikan Prinsip-Prinsip Etika.
Maksudnya : Keputusan mengenai perilaku-pwerilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral, pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum dan kepentingan orang lain.Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi daripada mencuri itu sendiri.

Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Moral

Perkembangan moral seorang anak banyak dipengaruhi oleh lingkungannya.Anak memperoleh nilai-nilai moral dari lingkungannya, terutama dari orangtuanya.Dia belajar untuk mengenal nilai-nilai dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai tersebut.Dalam mengembangkan moral anak, peranan orangtua sangatlah penting, terutama pada waktu anak masih kecil. Beberapa sikap orangtua yang perlu diperhatikan sehubungan dengan perkembangan moral anak, antara lain:

1. Konsisten dalam mendidik anak
Ayah dan ibu harus memiliki sikap dan perlakuan yang sama dalam melarang atau membolehkan tingkah laku tertentu kepada anak. Suatu tingkah laku anak yang dilarang oleh orangtua pada suatu waktu, harus juga dilarang apabila dilakukan kembali pada waktu lain.

2. Sikap orangtua dalam keluarga
Secara tidak langsung, sikap orangtua terhadap anak, sikap ayah terhadap ibu ataupun sebaliknya, dapat mempengaruhi perkembangan moral anak, yaitu melalui proses peniruan (imitasi). Sikap orangtua yang keras (otoriter) cenderung melahirkan sikap disiplin semu pada anak, sedangkan sikap yang acuh tak acuh atau sikap masa bodoh, cenderung mengembangkan sikap kurang bertanggung jawab dan kurang mempedulikan norma pada diri anak. Sikap yang sebaiknya dimiliki oleh orangtua adalah sikap kasih sayang, keterbukaan, musyawarah (dialogis), dan konsisten.

3. Penghayatan dan pengamalan agama yang dianut
Orangtua merupakan panutan (teladan) bagi anak, termasuk panutan dalam mengamalkan ajaran agama. Orangtua yang menciptakan iklim yang religius (agamis), dengan cara membersihkan ajaran atau bimbingan tentang nilai-nilai agama kepada anak, maka anak akan mengalami perkembangan moral yang baik.

4. Sikap konsisten orangtua dalam menerapkan norma
Orangtua yang tidak menghendaki anaknya berbohong atau berlaku tidak jujur, maka mereka harus menjauhkan dirinya dari perilaku berbohong atau tidak jujur. Apabila orangtua tidak mengajarkan kepada anak agar berperilaku jujur, bertutur kata yang sopan, bertanggung jawab atau taat beragama, tetapi orangtua sendiri menampilkan perilaku yang sebaliknya, maka anak akan mengalami konflik pada dirinya, dan akan menggunakan ketidak konsistenan orangtua itu sebagai alasan untuk tidak melakukan apa yang diinginkan oleh orangtuanya, bahkan mungkin dia akan berperilaku seperti orangtuanya. 

Upaya Pengembangan Moral, Nilai dan Sikap Serta Implikasinya bagi Pendidikan

Tahap-tahap perkembangan moral pada remaja telah mencapai pada tahap moralitas hasil interaksi yang seimbang yaitu secara bertahap anak mengadakan internalisasi nilai moral dari orangtuanya dan orang-orang dewasa di sekitarnya. Pada akhir masa remaja terdapat lima perubahan yang dapat dilukiskan sebagai berikut:
  • Pandangan moral remaja mulai menjadi abstrak, menifestasi dari ciri ini adalah prilaku remaja yang suka saling bernasihat sesama teman dan kesukaannya pada kata-kata mutiara.
  • Pandangan moral remaja sering terpusat pada apa yang benar dan apa yang salah. Sehingga remaja sangat antusias pada usaha-usaha reformasi sosial.
  • Penilaian moral pada remaja semakin mendasarkan diri pada pertimbangan kognitif, yang mendorong remaja mulai menganalisis etika sosial dan mengambil keputusan kritis terhadap berbagai masalah moral yang dihadapinya.
  • Penilaian moral yang dilakukan remaja menunjukkan perubahan yang bergerak dari sifat egosentris menjadi sosiosentris, sehingga remaja senang sekali bila dilibatkan dalam kegiatan memperjuangkan nasib sesama, kesetiakawanan kelompok yang kadang-kadang untuk ini remaja bersedia berkorban fisik.
  • Penilaian moral secara psikis juga berkembang menjadi lebih mendealam yang dapat merupakan sumber emosi dan menimbulkan ketegangan-ketegangan psikologis. Sehingga pada akhir masa remaja moral yang dianutnya diharapkan menjadi kenyataan hidup dan menjadi barang berharga dalam hidupnya.
Apa yang terjadi dalam diri pribadi seseorang hanya dapat didekati melalui cara-cara tidak langsung, yakni dengan mempelajari gejala dan tingkah laku seseorang tersebut, maupun membandingkannya dengan gejala sertra tingkah laku orang lain. Diantara proses kejiwaan yang sulit untuk dipahami adalah proses terjadinya dan terjelmanya nilai-nilai hidup dalam diri individu, yang mungkin didahului oleh pengenalan nilai secara intelektual,disusul oleh penhayatan nilai tersebut, dan kemudian tumbuh didalam diri seseorang sedemikian rupa kuatnya sehingga seluruh jalan pikiran, tingkah lakunya serta sikapnya terhadap segala sesuatu di luar dirinya, bukan saja diwarnai tetapi juga dijiwai oleh nilai tersebut.
Karena itu, ada kemungkinan bahwa ada individu yang tahu tentang sesuatu nilai tetap menjadi pengetahuan.Tidak semua individu mencapai tingkat perkembangan moral seperti yang diharapkan, maka kita dihadapkan dengan masalah pembinaan. Adapun upaya-upaya yang dilakukan dalam mengembangkan nilai, moral dan sikap remaja adalah:

1. Menciptakan Komunikasi
Dalam komunikasi didahului dengan pemberian informasi tentang nilai-nilai dan moral. Anak tidak pasif mendengarkan dari orang dewasa bagaimana seseorang harus bertingkah laku sesuai dengan norma dan nilai-nilai moral, tetapi anak-anak harus dirangsang supaya lebih aktif. Hendaknya ada upaya  yang mengikutsertakan remaja dalam pembicaraan dan dalam pengambilan keputusan keluarga. Sedangkan  dalam kelompok sebaya, remaja turut serta secara aktif dalam tanggung jawab dan penentuan maupun keputusan kelompok.
Disekolah para remaja hendaknya diberi kesempatan berpartisipasi untuk mengembangkan aspek moral, misalnya dalam kerja kelompok,sehingga dia belajar untuk tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan orang lain karena hal ini tidak sesuai dengan nilai atau norma moral.

2. Menciptakan Iklim Lingkungan yang Serasi
Seseorang yang mempelajari nilai hidup tertentu dan moral, kemudian berhasil memiliki sikap dan tingkah laku sebagai pencerminan nilai hidup tersebut umunya adalah seseorang yang hidup dalam lingkungan yang secara positif, jujur, dan konsekuen yang senantiasa mendukung bentuk tingkah laku yang merupakan pencerminan nilai hidup tersebut. Ini berarti antara lain, bahwa usaha pengembangan tingkah laku nilai hidup hendaknya tidak hanya mengutamakan pendekatan-pendekatan intelektual semata, tetapi mengutamakan adanya lingkungan yang kondusif dimana factor-faktor lingkungan itu sendiri merupakan penjelmaan yang konkret dari nilai-nilai hidup tersebut. Karena lingkungan merupakan factor yang cukup luas dan sangat bervariasi, maka tampaknya yang perlu diperhatikan adalah lingkungan sosial terdekat terutama mereka yang berfungsi sebagai pendidik dan Pembina yaitu orang tua dan guru. 







Reference


http://kimmyaulia.blogspot.com/2014/03/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html
http://evayuliawati.blogspot.com/2013/03/makalah-perkembangan-moral.html
http://www.anekamakalah.com/2012/07/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap.html
Syamsu Yusuf, Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja, (Bandung : PT Remaja Rosdakarya),
Jum’atun Nikmah, 2012, PERKEMBANGAN NILAI, MORAL DAN SIKAP, https://jumatunnikmah.wordpress.com/2012/06/02/perkembangan-nilai-moral-dan-sikap/, diakses tgl 10 Mei 2015, jam 15.50
Nana Syaodih Sukmadinata, Landsan Psikologi Psoses Pendidikan, PT Remaja Rosdakarya,Bandung:2011